selamat ulang tahun, sya

Pssst..

Aku punya satu cerita. Dengarkan baik-baik dan jangan kau sela. Sebab kisah ini hanya untuk kamu, bukan untuk yang lain. Kau boleh anggap ini sebagai rahasia sebab buatku ini adalah istimewa.

22 tahun lalu, di tanah urang, lahir seorang perempuan jelita, —perempuan itu kamu, tentu saja. Dibantu oleh bidan yang lembut dan menyenangkan. Diiringi senandung angin dan cahaya langit senja.

22 tahun kemudian ia tumbuh mendewasa. Menjadi wanita cantik dan manja, —memesona dengan caranya. Wanita ini manis dan beraroma vanilla, sesuatu yang selalu membuatku betah untuk duduk atau merebah berlama-lama. Demi sekadar mencuri satu lengkung sempurna kala ia tertawa. Atau menaruh dua kecup di pipinya yang merekah saat mendengar candaku yang tak lucu. Atau menitipkan tiga kata mesra di telinganya, “aku cinta kamu.”

Kini, bertambah usianya menjadi sepasang angka dua. 22 tahun menjalani hidup dengan berbahagia. Angka dua memanglah istimewa, seperti kita. Aku dan kamu. Dua isi kepala yang melebur dalam satu irama. Dua telapak tangan yang saling menggenggam untuk menguatkan dan menyempurnakan. Dua pasang kaki yang melangkah menuju impian bersama. Sepasang anak manusia yang berkelana dalam satu cerita cinta.

Selamat ulang tahun, Sya.

Di dua-dua usiamu, semoga aku selalu menjadi satu-satunya.

Aku mencintaimu.

Galih Hidayatullah.

selamat ulang tahun, sya

Hujan di Tepian Senja

“Aku ingin dekapmu dalam menghadapi dinginnya cerita. Menjadikannya sebagai pelukan hangat untuk menemani gigil yang ditawarkan senja.”

Mungkin kau sedang sibuk merajut benang-benang jingga di antara sekumpulan awan saat ini. Atau berlarian di antara rinai hujan yang berderai ritmis di sepanjang tepian pantai. Menjejak langkah kaki yang kemudian terhapus buih-buih ombak. Atau kau mungkin sedang menyesap segelas teh panas untuk sekadar menikmati senja merona di antara pendar jingga yang mengekor cakrawala.

Di surga, segala keinginan hanya perlu diminta ‘kan? Aku percaya kau sedang berbahagia di sana. Menikmati segala kebahagiaan tanpa perlu usaha yang berlebihan. Hanya tinggal merajuk dan membujuk Tuhan agar dapat mengabulkan apa yang kau angankan. Itu yang kupikirkan.

Di sini, langit begitu setia memuntahkan hujan. Membuat hari begitu basah oleh bulir-bulir air yang menggenang. Dan aku, masih belum beranjak dari tempat duduk di depan beranda rumah. Meminum segelas kopi hitam panas untuk sekadar menghangatkan paras. Dengan kepala yang disesaki segumpal kenangan yang belum juga terlepas.

Maafkan aku yang belum sepenuhnya ikhlas melepas kepergianmu. Nyatanya, segala kesabaran dan keteguhan hati dalam menghadapi kehilangan yang selama ini kugaungkan, belum benar-benar mampu untuk menenangkan dan mendamaikan perasaan. Aku masih belum lupa bagaimana renyah suaramu kala tertawa. Juga gelitik canda yang mengulas senyum dalam setiap pertemuan kita. Atau tentang bagaimana sendu matamu ketika tangis menganak sungai di pipimu. Lalu dengan naluri kelaki-lakianku mendamaikanmu dengan lembut belai di kepalamu dan menyediakan tegap pundak untuk memberikanmu sandaran. Semua masih tergambar jelas, dalam sebuah mozaik kenangan berbentuk kita.

Sayang, apakah di surga ada tangis?
Sebagaimana rengekan hatiku yang ringkih dalam melepasmu pergi.
Seperti halnya sungai yang mengalir lembut di bawah taman-taman surga.
Aku berharap Tuhan tak terlampau tega mencipta air mata di surga. Biarlah kau merasakan gegap gempita kebahagiaan dalam keabadian selama-lamanya. Tertawa lepas menikmati segala keindahan yang ditawarkannya.

Hujan belum juga reda. Dan aku masih ingin mengenangmu lebih lama.

Berbahagialah di sana.
Surga yang mengalir sungai di bawahnya.

Peluk hangat.
Dari lelakimu yang merindu.

Hujan di Tepian Senja

Kepergian, Kehilangan

“Siapa memulai? Entah. Tiba-tiba terhenti. Sudah. Lantas kemudian pergi. Enyah. Menyisakan luka kehilangan. Musnah.”

Petang mulai temaram kini. Jingga senja terlalap pekat hitam langit malam yang memuntahkan hujan. Menyisakan genangan basah juga aroma petrichor yang begitu sengit menusuk hidung. Menjadi lebih sunyi ketika kenangan tentangmu pelan-pelan mengetuk dadaku. Membawa serta kerinduan yang selama ini tak pernah bisa kulupakan. Tempias langit memang sudah lama berhenti, tapi hati masih begitu kuyup oleh tangis keresahan yang meraung sesenggukan memanggil namamu.

Kepergian dan kehilangan adalah kenangan menjemukan. Aku sudah terlalu bosan menikmati malam dengan cerita-cerita kesedihan. Hingga air mata sudah terlalu jenuh untuk merintik. Hingga lisan sudah terlampau kelu untuk mengucap keluh. Hingga tangis dan dendam tak lagi berarti banyak untuk menghadirkan tiadamu dalam setiap beradaku. Toh sekuat apapun aku berusaha, kesepianku tak benar-benar mampu membuatmu kembali datang dan terpeluk. Ah, kehilangan adalah skenario paling busuk.

Maka, inilah yang aku lakukan sekarang. Menuliskan setiap ratap kenestapaan dalam menghadapi kehilangan. Hingga pada akhirnya aku sampai pada sebuah titik kesimpulan. Ketika aku benar-benar menyadari. Bahwa ikhlas adalah sebaik-baiknya obat atas kehilangan.

Kepergian, Kehilangan

Jam Dinding

Tik. Tak. Tik. Tak. Malam memeluk hening. Sepi kesunyian memenuhi hampir seluruh kamar. Dinding-dinding kusam lapuk di makan usia. Lampu masih dinyalakan, hanya saja redup, tak cukup menerangi pandangan mata yang sudah kadung lelah oleh sebab terlalu lama terjaga. Di sudut kamar, bertumpuk abu dari tiga belas batang rokok yang kuisap sejak petang menyambut malam.

Ini minggu ketiga sejak tatap bencimu katakan, “Aku pergi, siapa yang butuh kamu lagi?” katamu dalam sebuah perbincangan singkat saat senja empat hari lalu.

Maka, beginilah aku sekarang. Duduk merokok mendekap lutut, sambil memperhatikan detak-detik waktu yang berpacu. Ditemani segelas kopi dan degup irama jantung yang tak lagi teratur. Tak ada air mata. Kehampaan jauh lebih terasa miris dibanding remang tangis. Bukan tak bersedih, aku hanya tak lagi tahu bagaimana caranya menyikapi kehilangan dengan senyuman. Sungguh menyakitkan bukan? Saat di mana hati dan perasaan begitu gagah untuk mempertahankan, sementara yang dicinta begitu gigih untuk melepaskan.

Tik. Tak. Tik. Tak.
Detak-detik masa semakin terasa menyebalkan.
Dan aku.
Kembali melarut bersama malam.

Jam Dinding

Halo!

halo. selamat pagi. sudahkah matahari terbit dari mendung matamu. ataukah sendu masih setia membuatnya menjadi kelabu?

halo. selamat pagi. masihkah aku menjadi ingin dalam anganmu? bayang yang kau cipta saat rindu menelusup lamunmu?

halo. selamat pagi. masihkah kita menjadi cerita yang kau simpan di langit kepalamu? atau sudah ada semesta lain yang membuatmu terpaku?

halo. selamat siang. masihkah harapan yang pernah kita rencanakan menjadi penerang harimu? atau telah berceceran hingga tak bisa dirapikan?

halo. selamat siang. masihkah lengkung senyumku yang kau simpan menjadi penyemangat langkahmu? atau telah tergantikan oleh pelangi baru?

halo. selamat siang. masihkah fotoku tersimpan dalam dompetmu? menjadi pelipur lara meski yang kau punya hanya lima lembar dua ribu?

halo. selamat siang. masihkah kenangan kita menjadi satusatunya hal yang membuatmu mau melangkah maju? atau keyakinanmu telah beranjak ragu?

halo. selamat sore. masih adakah debar rindu yang tak pernah kau anggap sepele? sebuah alasan agar pertemuan kita segera datang tanpa bertele-tele?

halo. selamat senja. masih adakah pesona matamu yang berbinar jingga? sesuatu yang selalu betah kupandangi berkali-kali dan berlama-lama.

halo. selamat petang. masihkah doa-doa kau panjatkan dalam khusyukmu yang biru? lafadz-lafadz paling semoga tentang kita agar berbahagia?

halo. selamat malam. masih adakah hari saat kau tak mampu bersabar menemuiku dalam mimpimu. atau segala hal telah hilang dan menjadi abu?

halo. ini aku. cinta yang kau tinggal pergi. yang memeluk dirinya sendiri.

Halo!